Kamis, 28 April 2011

Amplop Nasib

Adek-adekku yang kelas 3 SMA udah kelar ujian. Wow, jadi rindu masa-masa itu. Masa-masa dimana para siswa satu per satu keluar dari ruang ujian dengan wajah yang seolah-olah sedang berada diantara pintu neraka dan pintu sorga. Kayak aku dulu. Ini ingatanku.

Hari selesainya ujian.

Aku emang lega karena akhirnya ujian ini selesai juga. Tapi rasa gugup di jantungku belum hilang sepenuhnya karena masih menunggu hasil ujian. Hasil yang menentukan apakah kita akan maju selangkah lagi untuk mencapai cita-cita atau malah menjadi juara bertahan.

Suasana menjelang pengumuman aku dan teman-temanku yang otaknya udah agak bocor, mencoba membuat kata-kata LULUS dengan diri kami seperti yang sering di lakukan oleh cheers. Cool. Tapi sayangnya kami hanya terlihat seperti siswa-siswa yang gagal menjalani masa pubertas.

L-U-L-U-S!!


Hari eksekusi.

Akhirnya, hari yang dinanti telah tiba. Kami semua berbaris dengan tidak rapi di depan ruang guru. Hari ini tidak ada siswa yang mencoba untuk membolos. Semuanya hadir. Namun tiba-tiba hari mendung, dan hujan turun ke bumi. Di awali dengan rintik-rintik yang sedikit demi sedikit bertambah deras. Semua siswa yang tadinya berbaris tidak rapi di depan ruang guru sekarang telah berdesak-desakan di koridor ruang guru. Jadilah ruangan itu penuh dengan bau keringat para siswa. Sumpek banget.

Aku pun sebenarnya tidak tahan dengan keadaan itu. Tapi di luar hujan, dan hasil ujian belum di umumkan. Pasrah aja deh.

Satu per satu nama siswa di panggil oleh guru dan di berikan amplop putih. Amplop nasib, yang menentukan langkah kita. Beberapa siswa yang telah membukanya berteriak kesenangan. Ada yang meloncat-loncat, ada juga yang berteriak kencang-kencang. Sedangkan beberapa siswa hanya diam saja, dengan muka yang biasa-biasa saja. Entah itu karena dia sudah memprediksi bahwa dia pasti lulus, atau karena dia menjadi juara bertahan.

Seperti ketika namaku di panggil oleh guru. Jantungku langsung berdetak sangat kencang. Seluruh badanku merinding. Wow! Pikirku. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Ketika guru itu memberikan amplop itu kepadaku, aku menerimanya dengan tangan yang gemetar. Aku gak berani membukanya.

Ya, aku takut. Sempat terpikir olehku untuk membawa pulang amplop itu dan membakarnya, sehingga aku tidak akan pernah mengetahui isinya. Mungkin dengan tidak mengetahui isinya, aku akan terlepas dari keadaan yang tidak aku inginkan.

Tapi. . .

Tapi kemudian aku berpikir, aku bukanlah pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Teman-temanku saja langsung membuka amplop nasib, kenapa aku tidak? Bagaimana aku bisa melangkah maju ke depan bila hanya membukanya saja aku tidak berani?

Aku mencoba kumpulkan keberanianku. Sedikit demi sedikit, kubuka amplop salan itu. Seperti slow motion, semuanya terasa begitu lama. Melambat. Semakin melambat. Seolah-olah kecepatan cahaya sebanding dengan kecepatan kura-kura. Sangat lambat.

Sampai akhirnya, nasibku selanjutnya hanya tinggal berada di balik lipatan kertas putih. Sedikit lagi. Ku buka. . .

L-U-L-U-S!!!

Aku berlari menembus hujan. Aku berteriak sekencang-kencangnya. YES!!! Aku terlihat seperti banci yang baru pertama kali mendapatkan langganan. No problem, sing penting aku wes LULUS!! Aku langsung menelpon dia, karena dia juga sedang menerima amplop nasib.

Tiba-tiba dia pun menerobos hujan dan berlari mendekati aku. Dia memeluk aku dan berteriak, "Aku LULUS!!" Aku yang sedang senang sekali, merasa seperti pucuk di cinta, ulam pun tiba. Atau sudah jatuh tertimpa tangga, tapi dalam artian positif.

Akhirnya, kerja kerasku tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar