Akhirnya hari ini balik juga ke Solo. Sedih banget berpisah lagi dengan ortu. Ceritanya aku ge dekat-dekatnya sama ortuku. Kemarin aja pas Valentine's Day aku kasih cokelat gede sama ortuku (ga takut kena diabetes tuh ntar?). Wah, tumben banget deh aku baik ma ortu kayakgini, biasanya juga membangkang terus (maafkan aku ya Bu, Pah). Maklum, terpisah oleh samudera sih, makanya need banget ortu nih.
Pas pulang, diantar ortu sampai bandara Syamsudin Noor. Ga, pelukannya ga pake acara nangis dan pelukan segala (lebay amat klo ada kejadian kayak gitu). Selama menunggu di bandara, kepikiran terus ama kebaikan ortuku selama ini. "Sekolah tuh yang bener, jangan main-main. Ortu kamu sudah berjuang mati-matian banting tulang demi bisa menyekolahkan kamu. Makanya jangan sia-siakan harapan ortumu," begitu kata Ibu temanku yang kebetulan berangkat bareng. Akhirnya aku menetapkan bahwa aku harus kembali dengan prestasi yang luar biasa untuk ortuku. BERJUANG!!
"Ki!" sapa seseorang ketika aku lagi cari tempat duduk di pesawat.
"Eh, Nino. Kok kamu disini?" balasku.
Nino sewot, "Yee...Emang aku ga boleh disini?".
"Boleh sih. Tapi bukannya kamu pulang hari senin?" tanyaku sambil mengangkat tas.
"Emang sih rencananya gitu, tapi ga jadi," jawabnya. Dan berangkatlah pesawat kami menuju pulau seberang.
Sesampainya di Jogjakarta, kami langsung naik kereta menuju ke Solo. Ternyata penumpangnya bejibun. Akhirnya kami dapat juga tempat duduk VIP, yang bisa bebas duduk dimana aja (maksudnya dilantai gitu). Susah emang kalau naik kereta kelas ekonomi. Cuman bisa mengeluh tanpa bisa bertindak. Kayak orang miskin yang pengen jadi kaya (yaiyalah, semua orang pengen kaya). Dan di kereta ini juga aku ketemu sama suster yang dulu satu kelompok ketika outbond. Aku lupa namanya (maklum, aku tidak punya bakat mengingat nama dengan cepat).
Selama satu jam lebih sedikit banget, sampailah kereta tidak menyenangkan itu di stasiun Solo Balapan. Sejak pertama mendengar nama stasiun ini, aku ga ngerti kenapa namanya mesti Solo Balapan. Mungkin karena dulu Si Solo adalah pembalap kereta terkenal, sehingga nama dan pekerjaannya diabadikan menjadi nama sebuah stasiun (sejarah yang sangat dipaksakan). Nino dijemput sama saudara jauhnya, sedangkan aku sama suster naik taksi. Kebetulan aku sama dia satu arah, jadi kami naik satu taksi aja. Dan kebetulan juga yang turun pertama kali adalah aku. Terus kebetulan lagi dan lagi uangku gede, dan ga ada kembaliannya (mencurigakan, tercium bau kejahatan). Akhirnya suster bilang biar dia aja yang bayar taksi nanti (YES!!).
Sampailah aku di kos yang sepi dan membosankan ini. . .
Sesampainya di Jogjakarta, kami langsung naik kereta menuju ke Solo. Ternyata penumpangnya bejibun. Akhirnya kami dapat juga tempat duduk VIP, yang bisa bebas duduk dimana aja (maksudnya dilantai gitu). Susah emang kalau naik kereta kelas ekonomi. Cuman bisa mengeluh tanpa bisa bertindak. Kayak orang miskin yang pengen jadi kaya (yaiyalah, semua orang pengen kaya). Dan di kereta ini juga aku ketemu sama suster yang dulu satu kelompok ketika outbond. Aku lupa namanya (maklum, aku tidak punya bakat mengingat nama dengan cepat).
Selama satu jam lebih sedikit banget, sampailah kereta tidak menyenangkan itu di stasiun Solo Balapan. Sejak pertama mendengar nama stasiun ini, aku ga ngerti kenapa namanya mesti Solo Balapan. Mungkin karena dulu Si Solo adalah pembalap kereta terkenal, sehingga nama dan pekerjaannya diabadikan menjadi nama sebuah stasiun (sejarah yang sangat dipaksakan). Nino dijemput sama saudara jauhnya, sedangkan aku sama suster naik taksi. Kebetulan aku sama dia satu arah, jadi kami naik satu taksi aja. Dan kebetulan juga yang turun pertama kali adalah aku. Terus kebetulan lagi dan lagi uangku gede, dan ga ada kembaliannya (mencurigakan, tercium bau kejahatan). Akhirnya suster bilang biar dia aja yang bayar taksi nanti (YES!!).
Sampailah aku di kos yang sepi dan membosankan ini. . .