Sejak kecil aku paling suka pelajaran Matematika. Yup, walau mukaku kayak pantat setan, tapi aku memiliki kelebihan yang orang lain jarang punya. Mungkin ini juga penyebab aku lebih suka cara belajar yang pakai logika daripada hapalan. Klo belajar dengan cara menghapal, entah kenapa ingatanku kayaknya cekak baget. Tapi klo ngomongin soal logika, I won’t lose.
Sewaktu SD, dua ekor kakakku yang semuanya cewek (iya, ga ada yang banci) sering mengajari aku apabila ada PR Matematika. Maklum, mereka udah SMP dan SMA waktu itu. Alhasil, ilmu mereka sudah kusedot habis-habisan. Setelah selesai kusedot, aku jadi sombong. Kupikir kan udah kusedot habis tuh ilmu kakak-kakakku yang udah SMP dan SMA, ngapain belajar buat ulangan harian besok. Pelajaran SD mah, GAMPANG! Kecil kayak upil yang nyangkut disela-sela gigi (habis makan upil ya?).
Keesokan harinya, ulangan harianku dapat nol besar dengan mata dua dan satu mulut tersenyum menyiksa yang digambar oleh teman sablengku, Kris. Sedangkan Akbar ketawa terbahak-bahak. Dari peristiwa ini aku belajar, aku harus menggambar semua nilai nolku dengan dua mata dan satu mulut.
Pokoknya, aku selalu merasa unggul klo masalah hitung menghitung. Teman-teman juga sering belajar dariku apabila ada pe-er. Hanya saja cara belajar mereka sangat unik. Unik sekali. Cara belajar mereka yaitu dengan membiarkan aku menjawab soalnya, kemudian mereka menyalin semuanya kedalam buku mereka. Hasilnya sungguh mengagumkan, mereka selalu dapat nilai yang sama dengan aku. Efektif banget kan? Mungkin suatu saat aku akan meniru cara super kreatif ini dan menerapkannya ketika ulangan. Keren.
Mungkin sudah menjadi opini masyarakat klo yang namanya guru matematika itu pasti killer. Tapi aku ga setuju. Soalnya selama aku menuntut ilmu di SDN 3 Tamiang Layang, ga pernah tuh ketemu guru yang galak. Baik banget malah. Berkat merekalah pelajaran jadi lancar banget masuk ke telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Kesal juga ngelihat guru kesayanganku dikata-katain begitu. Pengen banget rasanya teriak-teriak di tengah jalan, “GURU MATEMATIKA JUGA MANUSIA!!” Tapi aku simpan dalam hati aja niat baik tersebut. Takut dikira orang gila. Dan juga takut ditabrak mobil yang supirnya kebelet sangat karena udah nahan pipis selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya aku bisik-bisik aja pada semut dalam lemari, “Guru matematika juga manusia lho.”
Tapi pembelaanku itu hancur ketika menginjak kelas dua SMP. Pembelaan yang sudah kuperjuangkan bertahun-tahun dengan menyucurkan darah dan keringat serta jiwa dan raga, luluh lantak hanya dengan satu kali pertemuan. Yaitu pada saat pertemuan kedua mata pelajaran matematika. Soalnya pas pertemuan pertama aku ga bisa hadir berhubung ada keperluan bisnis dengan presiden (bohong lu!), jadi aku menambah hari libur sendiri selama satu minggu (halaahhh, bilang aja malas). Teman-temanku sudah wanti-wanti sebelumnya, tapi aku ga percaya. Soalnya aku bersikukuh dengan prinsip perjuanganku, GURU MATEMATIKA GA GALAK.
Hari ini pelajaran matematika. Aku dengan semangat empat-lima pergi ke sekolah tercinta dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan aku ketemu dua sahabat kecilku, Akbar dan Kris.
“Gila Ky, guru matematika kita killer banget!!” Akbar ngomong ke aku. Dia ini teman sekelasku.
“Iya, Kerjaannya marah-marah melulu. Masa ngelihat lalat terbang aja ga boleh. Siapa tahu kan tuh lalat spesies baru, trus aku terkenal karena menemukannya. Nama latinnya nanti akan kubuat Krislalatus gantengnikus.” Tambah Kris. Aku ama dia emang beda kelas, tapi gurunya sama.
Aku tertarik, “Ah, masa sih. Mana lalatnya?Aku pengen lihat.”
“Woy, kita bukan ngebahas tentang lalat. Memang sih lalatnya agak aneh gitu. Aku juga ntar pengen lihat. Tapi bukan itu yang harus kita bahas sekarang. Permasalahannya sekarang GURU MATEMATIKA KITA KILLER BANGET!” Akbar mencoba mengembalikan perhatian kami.
“Owh iya. Masa sih guru matematika galak?“ Aku mulai nyambung.
“Iya lho. Kemarin aja pas Bapaknya masuk, langsung kena semprot hujan lokal.”
“Heh, ga boleh ngejelek-jelekin orang lain, apalagi guru matematika.” Aku menoleh ke Kris, dia masih mencari nama yang tepat buat lalat spesies barunya. Kemudian aku ngomong lagi ke Akbar, “Aku sangat menjunjung tinggi posisi guru matematika. Guru matematika adalah idolaku, panutanku, pahlawanku, kekuatanku, bla…bla…bla…” aku masih terus ngoceh dengan berpuisi tentang seorang guru matematika. Akbar hanya bisa mengangguk-angguk mendengarkan seniman tak dianggap Sedangkan Kris masih terus mencari nama.
Sepuluh menit kedua berhadapan dengan guru matematika di kelas dua SMP. Badanku tegang. Posisi duduk tegak. Wajahku berkeringat, tapi tak berani ku usap. Jantungku berdetak keras. Ketakutan menjalar di seluruh syarafku. Masih terbayang sepuluh menit pertama tadi. Dimarahin habis-habisan oleh posisi dudukku yang ga tepat, posisi tangan yang tidak diatas meja, dan arah pandangan mataku yang berkeliaran kesana kemari. Dan disinilah aku sekarang, terdiam seperti robot yang memandang kaku ke papan tulis. HARUS KE PAPAN TULIS. Gerak dikit aja ga boleh. Ngelirik ke arah gurunya juga ga boleh (siapa juga yang sudi ngelihat dia).
Tersiksa diriku plus hancur kebanggaanku kepada guru matematika. Seperti anak kecil yang kecewa ketika tahu bahwa superheronya yang asli adalah banci. Kemudian dengan entengnya sang superhero ngomong, “Ike juga punya kelemahan kale.”
Akhirnya, selama satu semester penuh aku menjadi seratus persen kebalikan dari sang pembela guru matematika. Sekarang aku adalah sang pembenci guru matematika.
Pernah suatu hari karena gurunya telat masuk, anak-anak pada duduk di depan pintu. Sedangkan Akbar, karena dia ketua kelas dan hari itu dia piket, dia menyapu di depan pintu tersebut. Trus, tanpa sepengetahuan kami, ternyata bapak guru killer tersebut melihat ke kelas. Kemudian dengan wajah garang dia menelusuri koridor menuju kelas kami. Alhasil, anak-anak yang duduk di depan pintu kelabakan semua. Segera kami mengatur posisi duduk di tempat masing-masing untuk menyambut sang guru tersebut. Semua terdiam membisu menunggu masuknya sang pembunuh mental.
Pak guru masuk. Muka dipasang sekeras mungkin. Kemudian dia duduk memandangi kami satu persatu. Kami cuman bisa terdiam. Gugup. Keringat mengalir deras.
Dengan suara lantang, dia berkata, “Siapa yang tadi duduk di depan pintu?!”
Kami tetap diam. Pandangan lurus ke papan tulis. Ga berani ngelihat sumber suara.
Kemudian dia melanjutkan, “Sudah tahu jam masuk, kok masih pada keliaran diluar? Kalian pikir saya ga ngelihat apa tingkah laku kalian? Kayak ga pernah diajarin sopan santun aja! Ayo ngaku, siapa yang tadi duduk di depan pintu? Maju ke depan! Klo tidak, SAYA TIDAK AKAN PERNAH MENGAJAR DI KELAS INI LAGI!!!!”
YES!! Aku sempat bahagia sebentar, tapi siapa yang akan mengajar kami nantinya?
Kami tetap diam. Akhirnya dengan takut-takut, beberapa temanku maju ke depan, termasuk si Akbar. Dengan muka yang dipasang semarah mungkin, dia memandang satu per satu teman-temanku tersebut. Seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya.
Tanpa Ba-bi-bu lagi, semua temanku itu dia tendang dibagian belakangnya. Satu per satu. Tanpa rasa kasihan, tanpa memikirkan bahwa kami hanyalah sekumpulan remaja yang sedang mencari jati diri, yang masih lemah baik secara fisik dan mental. Bisa aja kan setelah si guru menendang Akbar, mungkin Akbar akan terganggu kejiwaannya. Memang mungkin secara fisik Akbar bisa menahan rasa sakit kena tendang, tapi siapa yang tahu isi hatinya? Tapi untungnya hal itu tidak terjadi. Untung Akbar kuat secara fisik maupun secara mental.
Setelah dia menendang semua temanku yang malang itu, sepatunya terlepas dan melayang ke atas. Mungkin karena tendangannya yang terlalu bernapsu. Kemudian dia suruh mereka semua keluar. Tetapi temanku yag terakhir keluar kelas masih sempat merasakan “sepatu melayang” yang dilempar oleh sang guru. Kami semua cuman bisa terdiam melihat luapan kemarahannya. Tak ada yang berani ngomong. Tak ada yang berani protes. Memang rasa kesetiakawanan kami seperti mengalir deras dan ingin menuntut balas atas perbuatan yang semena-mena tersebut. Tapi apa daya yang bisa kami lakukan? Kami hanya sekumpulan anak ingusan yang berhadapan dengan amukan seekor banteng .
Bukan cuman sekali itu saja. Beberapa pertemuan selanjutnya, dia selalu mengajar dengan marah-marah. Bahkan pernah temanku kena marah cuman karena dia melihat pak guru. Akupun pernah kena amukannya.
Ceritanya gini. Waktu itu aku emang lagi kumat nakalnya. Maklum, sebagai anak yang superactive, aku memang ga bisa diam. Bawaannya pengen gerak mulu. Kemudian ketika sedang mengerjakan soal yang dia kasih, aku sedang bermain-main dengan penggaris Akbar. Ya, aku dan Akbar memang satu bangku. Karena sudah selesai dengan soal yang dikerjakan, aku cari-cari kerjaan gitu. Pas lagi asyik main-mainin penggaris, tiba-tiba secara tidak disengaja penggaris itu patah. Alhasil bunyinya nyaring banget.
Mendengar itu sang guru menatap aku, “Bunyi apa itu?”
Aku gugup. Ku jawab sekenanya, “Penggaris patah.”
Dia berjalan ke tempat dudukku. Dengan sangar dia berkata, “Kamu ngapain sih sebenarnya? Sekolah atau matahin penggaris? Sekolah itu yang benar!! Mana jawabanmu?!”.
Dengan mantap aku berikan jawabanku. Aku yakin banget klo jawabanku itu benar. Berharap dia akan bangga padaku, atau malah merasa bersalah. Tapi yang terjadi sebaliknya, DIA MALAH SEMAKIN MARAH!
Dia teriak di telingaku, “Ini jawaban apa? INI SALAH TAHU!” Sesaat kemudian kesepuluh jarinya yang besar sudah berada di leherku. Ya, aku dicekik. Aku digoncang-goncang, dan setelah itu dia teriak di telingaku lagi, “KAMU KELUAAARRR!!!”
Aku langsung lari keluar.
Dia tidak mengajar lagi. Dia sudah pindah tempat kerja.
Sekarang aku berpikir, apakah tipe guru seperti itu efektif dalam hal mengajar murid? aku yakin tidak. Karena aku pernah mengalaminya. Yang terjadi malah semua ilmu yang dia coba tranfer ke kami tertutupi oleh rasa takut yang berlebihan.
Tipe guru yang tepat zaman sekarang adalah guru yang bisa bersahabat bagi murid-muridnya, namun tetap tegas dalam disiplin.
Guru yang ideal. . .