Aku suka banget main game sampai mataku merah banget. Bukannya suka mata merah, tapi suka gamenya. Takut salah paham. Bahkan perang pun sering terjadi karena ke-salah-paham-an, dan aku ga mau perang.
Fenomena mata merah memang sering aku alami. Dan sekali lagi, bukan karena aku suka (iya, udah tahu goblok!). Maaf klo berkelit-kelit atau berkelut-kelut. Karena sekali lagi, takut salah paham (ga pernah kena pukul ya?). Hehehehe. . .
Ketika duduk dibangku kuliah, aku baru menyadari ada kerusakan dimataku. Mataku yang biasanya sangat jelas ketika melihat papan tulis yang jauh dan tulisan guruku yang indah di SMA dulu, sekarang ngelihat slide di proyektor aja agak kabur-kabur gimana gitu. Entah pengaruh silau proyektor, atau pengaruh jarak.
Tapi klo ngelihat whiteboard dari jarak kurang lebih 5 meter, tetap aja kabur. Entah lari kemana whiteboard tersebut (maaf, lagi mabuk mode). Awal tes kesehatan masuk USB dulu sih emang disuruh pake kacamata oleh pemeriksanya. Tapi aku bersikukuh bahwa mataku baik-baik saja. Alasanku sih silau aja tulisannya pas tes membaca huruf yang ga jelas itu. Pokoknya mataku masih baik-baik saja.
Setelah itupun aku masih tetap sering bermain game, dan pasti berakhir dengan mata-merah. Dan apabila mataku gatal atau terasa panas, pasti aku garuk sekuat tenaga. Sempat ingin mencoba menggaruk dengan garpu, tapi takut ntar dikira pentol oleh keponakanku. Soalnya dia suka banget makan pentol.
Pernah suatu ketika paman pentol, istilah untuk cowok yang suka jual pentol (entah apa sebutannya bila cewek jualan pentol , mungkin jadi tante pentol), lewat dengan gaya didepan rumah. Keponakanku yang polos ini memanggil "Man, paman!"
Paman pentol pun dengan semangat empat lima, semangat para pahlawan pentol yang berusaha menjual habis pentolnya dalam sehari supaya besoknya ga busuk, berlari menuju ke TKP. "Wah, ada pelanggan. Mana anaknya gemuk kayakgini, pasti deh bakalan laris pentolku," pikir sang paman pentol.
"Man, ada pentolnya ga?" tanya si keponakanku.
"Ada dong man, pamankan jualan pentol," paman antusias.
"Eh, kok paman manggil aku 'man' sih? Namaku kan Antuh."
"Loh, adek sendiri manggil paman 'man'. Kan kayak anak-anak gaul gitu, 'washap men'."
"Aku manggil paman dengan 'man', karena itu singkatan dari paman. Bukan karena gaul-gaulan gitu. Udah ah, aku bingung sendiri jadinya. Berapa harga satu pentolnya?"
"Empat ratus sembilan puluh sembilan rupiah aja kok, murah dan enak," kata paman dengan senyum super lebay.
"Bilang aja lima ratus rupiah. Kayak iklan-iklan di tipi aja pake gituan." Keponakanku berkata lagi, "Ya udah deh, aku ga jadi beli."
"Loh kok ga jadi beli?" tanya paman pentol. "Padahal produk pentol paman ini berkualitas tinggi dan sudah pernah mendapatkan top brand award . Dan apabila beruntung, bisa dapat gelas cantik anlimitet edisyion!"
"Aku ga punya uang!" Jawab keponakanku sambil ngeloyor pergi meninggalkan paman pentol tercinta yang keheranan dengan wajah diimut-imutin (huuueeekkk!). Aku yang ngelihat kejadian itu langsung berpikir, lucunya anak-anak zaman sekarang (langsung digampar paman pentol).
Kembali ke mata. Beberapa temanku menyarankan aku untuk membeli kacamata, supaya aktifitas perkuliahanku yang cenderung banyak mencatat, tidak terganggu. Aku sih ok-ok aja. Setelah diputuskan, akhirnya kami mencoba mencari kacamata di toko optik di Grandmall. Katanya temanku sih bagus-bagus barangnya.
Sesampainya di toko, aku langsung celingak-celinguk cari kacamata yang kira-kira lagi ngetren sekarang. Kenorakanku kelihatan jelas banget dari gayaku yang kesana kemari ga jelas. Akhirnya ketika aku melihat sebuah kacamata yang frame-nya berwarna biru (warna kesukaanku lho), aku langsung tertarik. "Mbak, yang itu Mbak," aku menunjuk kearah kacamata tersebut. Penjual kacamata itu langsung mengambilkan kacamata dengan merk oakley. Aku yang masih awam tentang merk kacamata ga tahu klo ternyata merk tersebut terkenal dan sangat mahal.
Ini bukan kacamatanya lho. |
Sesaat kemudian aku bercermin dengan memakai kacamata tersebut. Hhmmm, cakep juga nih. Mirip Pasha 'Ungu'. Begitu pikirku. Setelah puas mengagumi diri sendiri, aku pun bertanya, "Mbak, ini berapa harganya?"
"Klo yang ini sih, harganya satu juta dua ratus ribu rupiah mas," jawab Si Mbak kalem.
CETARR! Petir menyambar dompetku disiang hari.
"Tapi itu kurang bagus mas, kualitasnya masih dibawah rata-rata." Lalu Si Mbak mengambil sebuah kacamata oakley yang frame-nya juga berwarna biru. Tapi yang ini terlihat seperti lebih kuat dari yang sebelumnya. "Yang ini aja mas, model terbaru. Lagi beken banget nih. Pasti mas kelihatan ganteng make ini," lanjutnya.
Aku menelan ludah, "Yang ini berapa harganya Mbak?"
"Yang ini harganya juga lumayan murah mas, cuman dua juta lima ratus tibu rupiah kok."
CETARRR! CETARRR! Petir berkekuatan sepuluh ribu volt mengecutkan dompetku. Badanku merinding. Murah? Cuman DUA-JUTA-LIMA-RATUS-RIBU-RUPIAH? Gila, uang semua tuh Mbak? Klo diganti ma daun bisa ga ya? Otakku mulai berpikir hal yang tidak masuk akal. Maklum, baru tahu klo sebuah kacamata bisa semahal itu. Jangankan satu juta keatas, yang dua ratus ribu aja aku masih perlu pikir panjang. Klo perlu aku harus berdebat sama ortu dulu, trus berdoa, puasa tujuh hari tujuh malam, lalu mandi kembang tujuh rupa. Setelah yakin benar, baru niat beli. Dan itu hanya 'niat' doang, belum benar-benar belinya (maaf, sudah terlampau miskin).
Akhirnya, aku keluar dari toko tersebut secara diam-diam ketika penjualnya sedang melayani pembeli yang lain. Kayak maling yang mengendap-ngendap. Tak kusangka, cuman demi sebuah benda dengan panjang kurang lebih sepuluh sentimeter, aku harus mengeluarkan uang yang bahkan melebihi jatah hidupku sebulan. Setelah keluar, aku ingin langsung pulang, mengunci diri dalam kamar (meredakan badanku yang masih gemeteran).
Ketika aku dalam perjalanan ke tempat parkir di Grandmall, terlihat orang yang jualan kacamata murahan. Aku berjalan kesitu, mencoba beberapa kacamata yang dijual (yaiyalah dijual). Eh, ternyata ada yang kacamata yang minus juga. Kucoba, ternyata pas banget saudara-saudara. Bagaikan juliet dan romeo yang saling mencintai. "Yang ini berapa Mbak?" tanyaku sambil setengah ketakutan. Takut harganya menyambar dompetku lagi.
Mbaknya mengamati sebentar kacamata tersebut, "Dua puluh lima ribu mas!"
Aku kaget, "Dua puluh lima ribu mbak?"
"Iya, DUA-PULUH-LIMA-RIBU-RUPIAH!"
Kakiku hampir berlutut tidak percaya. YEESSS!! Teriakku dalam hati. Inginku berteriak dengan mulutku, tapi takut disangka orang gila. Takut Satpamnya lagu menyergap aku, memaksa aku, diinterogasi, bila tidak mau memberi keterangan bakal ditaruh di kursi listrik. Sekali lagi pikiranku menyesatkan aku (pikiran yang sangat lebay : berlebihan).
Kucubit pipiku. Ini bukan mimpi. Tanpa basa-basi langsung kubayar dengan uang tiga puluh ribu rupiah. Aku kemudian berlari kegirangan menuju tempat parkir. Saking kegirangannya, aku sampai ga sadar klo aku ketinggalan kembalian lima ribu rupiah. Persetan dengan uang lima ribu itu, yang penting aku sekarang punya kacamata. Belakangan aku tahu klo itu termasuk mahal. Biasanya dijual setengah harga dari yang kubeli (ya, aku memang bodoh).
Ya, akhirnya sekarang aku bisa melihat dengan jelas berkat kacamata baruku. Walaupun frame-nya putih, yang penting aku bisa melihat lebih jelas dari pandanganku yang kabur.
Dunia ini sama dengan pandanganku. Dunia yang serba kabur ini, dan tidak jelas bagaimana keadaannya, sehingga diperlukan sebuah 'kacamata dunia' untuk melihat keadaan dunia yang sebenarnya.
Kacamata yang berwarna putih tanpa cela.