Kamis, 10 Maret 2011

Kacamata Putih

Aku suka banget main game sampai mataku merah banget. Bukannya suka mata merah, tapi suka gamenya. Takut salah paham. Bahkan perang pun sering terjadi karena ke-salah-paham-an, dan aku ga mau perang.

Fenomena mata merah memang sering aku alami. Dan sekali lagi, bukan karena aku suka (iya, udah tahu goblok!). Maaf klo berkelit-kelit atau berkelut-kelut. Karena sekali lagi, takut salah paham (ga pernah kena pukul ya?). Hehehehe. . .

Ketika duduk dibangku kuliah, aku baru menyadari ada kerusakan dimataku. Mataku yang biasanya sangat jelas ketika melihat papan tulis yang jauh dan tulisan guruku yang indah di SMA dulu, sekarang ngelihat slide di proyektor aja agak kabur-kabur gimana gitu. Entah pengaruh silau proyektor, atau pengaruh jarak.

Tapi klo ngelihat whiteboard dari jarak kurang lebih 5 meter, tetap aja kabur. Entah lari kemana whiteboard tersebut (maaf, lagi mabuk mode). Awal tes kesehatan masuk USB dulu sih emang disuruh pake kacamata oleh pemeriksanya. Tapi aku bersikukuh bahwa mataku baik-baik saja. Alasanku sih silau aja tulisannya pas tes membaca huruf yang ga jelas itu. Pokoknya mataku masih baik-baik saja.

Setelah itupun aku masih tetap sering bermain game, dan pasti berakhir dengan mata-merah. Dan apabila mataku gatal atau terasa panas, pasti aku garuk sekuat tenaga. Sempat ingin mencoba menggaruk dengan garpu, tapi takut ntar dikira pentol oleh keponakanku. Soalnya dia suka banget makan pentol.

Pernah suatu ketika paman pentol, istilah untuk cowok yang suka jual pentol (entah apa sebutannya bila cewek jualan pentol , mungkin jadi tante pentol), lewat dengan gaya didepan rumah. Keponakanku yang polos ini memanggil "Man, paman!"

Paman pentol pun dengan semangat empat lima, semangat para pahlawan pentol yang berusaha menjual habis pentolnya dalam sehari supaya besoknya ga busuk, berlari menuju ke TKP. "Wah, ada pelanggan. Mana anaknya gemuk kayakgini, pasti deh bakalan laris pentolku," pikir sang paman pentol.

"Man, ada pentolnya ga?" tanya si keponakanku.

"Ada dong man, pamankan jualan pentol," paman antusias.

"Eh, kok paman manggil aku 'man' sih? Namaku kan Antuh."

"Loh, adek sendiri manggil paman 'man'. Kan kayak anak-anak gaul gitu, 'washap men'."

"Aku manggil paman dengan 'man', karena itu singkatan dari paman. Bukan karena gaul-gaulan gitu. Udah ah, aku bingung sendiri jadinya. Berapa harga satu pentolnya?"

"Empat ratus sembilan puluh sembilan rupiah aja kok, murah dan enak," kata paman dengan senyum super lebay.

"Bilang aja lima ratus rupiah. Kayak iklan-iklan di tipi aja pake gituan." Keponakanku berkata lagi, "Ya udah deh, aku ga jadi beli."

"Loh kok ga jadi beli?" tanya paman pentol. "Padahal produk pentol paman ini berkualitas tinggi dan sudah pernah mendapatkan top brand award . Dan apabila beruntung, bisa dapat gelas cantik anlimitet edisyion!"

"Aku ga punya uang!" Jawab keponakanku sambil ngeloyor pergi meninggalkan paman pentol tercinta yang keheranan dengan wajah diimut-imutin (huuueeekkk!). Aku yang ngelihat kejadian itu langsung berpikir, lucunya anak-anak zaman sekarang (langsung digampar paman pentol).

Kembali ke mata. Beberapa temanku menyarankan aku untuk membeli kacamata, supaya aktifitas perkuliahanku yang cenderung banyak mencatat, tidak terganggu. Aku sih ok-ok aja. Setelah diputuskan, akhirnya kami mencoba mencari kacamata di toko optik di Grandmall. Katanya temanku sih bagus-bagus barangnya.

Sesampainya di toko, aku langsung celingak-celinguk cari kacamata yang kira-kira lagi ngetren sekarang. Kenorakanku kelihatan jelas banget dari gayaku yang kesana kemari ga jelas. Akhirnya ketika aku melihat sebuah kacamata yang frame-nya berwarna biru (warna kesukaanku lho), aku langsung tertarik. "Mbak, yang itu Mbak," aku menunjuk kearah kacamata tersebut. Penjual kacamata itu langsung mengambilkan kacamata dengan merk oakley. Aku yang masih awam tentang merk kacamata ga tahu klo ternyata merk tersebut terkenal dan sangat mahal.

Ini bukan kacamatanya lho.

Sesaat kemudian aku bercermin dengan memakai kacamata tersebut. Hhmmm, cakep juga nih. Mirip Pasha 'Ungu'. Begitu pikirku. Setelah puas mengagumi diri sendiri, aku pun bertanya, "Mbak, ini berapa harganya?"

"Klo yang ini sih, harganya satu juta dua ratus ribu rupiah mas," jawab Si Mbak kalem.

CETARR! Petir menyambar dompetku disiang hari.

"Tapi itu kurang bagus mas, kualitasnya masih dibawah rata-rata." Lalu Si Mbak mengambil sebuah kacamata oakley yang frame-nya juga berwarna biru. Tapi yang ini terlihat seperti lebih kuat dari yang sebelumnya. "Yang ini aja mas, model terbaru. Lagi beken banget nih. Pasti mas kelihatan ganteng make ini," lanjutnya.

Aku menelan ludah, "Yang ini berapa harganya Mbak?"

"Yang ini harganya juga lumayan murah mas, cuman dua juta lima ratus tibu rupiah kok."

CETARRR! CETARRR! Petir berkekuatan sepuluh ribu volt mengecutkan dompetku. Badanku merinding. Murah? Cuman DUA-JUTA-LIMA-RATUS-RIBU-RUPIAH? Gila, uang semua tuh Mbak? Klo diganti ma daun bisa ga ya? Otakku mulai berpikir hal yang tidak masuk akal. Maklum, baru tahu klo sebuah kacamata bisa semahal itu. Jangankan satu juta keatas, yang dua ratus ribu aja aku masih perlu pikir panjang. Klo perlu aku harus berdebat sama ortu dulu, trus berdoa, puasa tujuh hari tujuh malam, lalu mandi kembang tujuh rupa. Setelah yakin benar, baru niat beli. Dan itu hanya 'niat' doang, belum benar-benar belinya (maaf, sudah terlampau miskin).

Akhirnya, aku keluar dari toko tersebut secara diam-diam ketika penjualnya sedang melayani pembeli yang lain. Kayak maling yang mengendap-ngendap. Tak kusangka, cuman demi sebuah benda dengan panjang kurang lebih sepuluh sentimeter, aku harus mengeluarkan uang yang bahkan melebihi jatah hidupku sebulan. Setelah keluar, aku ingin langsung pulang, mengunci diri dalam kamar (meredakan badanku yang masih gemeteran).

Ketika aku dalam perjalanan ke tempat parkir di Grandmall, terlihat orang yang jualan kacamata murahan. Aku berjalan kesitu, mencoba beberapa kacamata yang dijual (yaiyalah dijual). Eh, ternyata ada yang kacamata yang minus juga. Kucoba, ternyata pas banget saudara-saudara. Bagaikan juliet dan romeo yang saling mencintai. "Yang ini berapa Mbak?" tanyaku sambil setengah ketakutan. Takut harganya menyambar dompetku lagi.

Mbaknya mengamati sebentar kacamata tersebut, "Dua puluh lima ribu mas!"

Aku kaget, "Dua puluh lima ribu mbak?"

"Iya, DUA-PULUH-LIMA-RIBU-RUPIAH!"

Kakiku hampir berlutut tidak percaya. YEESSS!! Teriakku dalam hati. Inginku berteriak dengan mulutku, tapi takut disangka orang gila. Takut Satpamnya lagu menyergap aku, memaksa aku, diinterogasi, bila tidak mau memberi keterangan bakal ditaruh di kursi listrik. Sekali lagi pikiranku menyesatkan aku (pikiran yang sangat lebay : berlebihan).

Kucubit pipiku. Ini bukan mimpi. Tanpa basa-basi langsung kubayar dengan uang tiga puluh ribu rupiah. Aku kemudian berlari kegirangan menuju tempat parkir. Saking kegirangannya, aku sampai ga sadar klo aku ketinggalan kembalian lima ribu rupiah. Persetan dengan uang lima ribu itu, yang penting aku sekarang punya kacamata. Belakangan aku tahu klo itu termasuk mahal. Biasanya dijual setengah harga dari yang kubeli (ya, aku memang bodoh).

Ya, akhirnya sekarang aku bisa melihat dengan jelas berkat kacamata baruku. Walaupun frame-nya putih, yang penting aku bisa melihat lebih jelas dari pandanganku yang kabur.

Dunia ini sama dengan pandanganku. Dunia yang serba kabur ini, dan tidak jelas bagaimana keadaannya, sehingga diperlukan sebuah 'kacamata dunia' untuk melihat keadaan dunia yang sebenarnya.

Kacamata yang berwarna putih tanpa cela.

Selasa, 08 Maret 2011

How To Hate

Aku pernah melihat, mendengar, dan juga berkata-kata tentang sebuah kebencian, baik itu terhadap suatu benda maupun makhluk hidup. Pernah dan sering. Padahal aku tahu itu bukanlah hal yang baik, dan aku sudah berusaha merubahnya. Namun percayalah kawan, amat teramat sangat sulit. Setiap kali aku bertekad untuk berubah, setiap kali itu pula aku selalu terjatuh ke lubang yang sama. Apa yang dikatakan ortuku ternyata benar juga : membenci lebih mudah daripada mencintai.

Padahal klo diiming-iming, sebenarnya alasan untuk membenci itu terkadang sangat sepele. Namun hal sepele itu justru berakibat sangat fatal.

Seperti aku misalnya, membenci Kangen Band (pengakuan nih). Dan alasan aku membenci adalah : poni miring alay, lagu melayu, dan muka mereka yang sangat jelek tapi diganteng-gantengin (klo ganteng tapi dijelek-jelekin mah ga papa). Padahal, hal-hal yang aku benci dari mereka justru ada pada diriku. Deskripsi diriku : Rambut miring alay, muka yang jelek, eh, ganteng, eh, jelek diganteng-gantengin (banyak yang bilang aku nih ganteng lho sebenarnya, sekali lagi 'sebenarnya'). Buktinya lihat aja foto profilku, rambut miring dan muka yang ga jelas manusia atau bukan. Mungkin aku termasuk primata kelas ganteng (walau ganteng tapi tetap aja primata). Yang ga sama cuman kenyataan bahwa aku ga suka lagu melayu. Aku juga ga suka lagu india (OOT : Out Of Topic).

Rambut miring, muka ga jelas.
Padahal kan terserah mereka Kangen Band mau pilih gaya yang kayak gimana. Mau gayak mohawk kek, biksu kek, atau gaya papan catur kek, kan terserah mereka. Toh, aku ga bakalan mati juga klo mereka bergaya kayak gitu (mungkin aku akan mati ketawa). Aku membayangkan klo mereka pake gaya mohawk : rambut kayak kipas, tatoan, tapi tetap nyanyi melayu. Mungkin mereka akan jingkrak-jingkrak sambil nyanyi lagu Yolanda, trus ngipasin penonton yang kepanasan pake rambutnya. Klo mereka pake gaya biksu : kalem, botak dengan tanda enam dadu dikepala, tapi tetap nyanyi melayu. Mungkin mereka bakal nyanyi sambil memakai baju biksu, kalem dan slow, trus kepala mereka dijadiin dadu oleh penonton. Khayalanku ngeri banget ya?

Dan kebencianku tidak hanya kepada mereka, tetapi kepada banyak orang. Baik itu teman baikku, sahabat, pacar, ortu, bahkan kepada Tuhanku sendiri. Awalnya aku tidak berniat membenci, aku hanya 'menentang'.

Tapi entah bagaimana dan tanpa sadar aku sudah membenci mereka terlalu jauh. Bukan, ini bukan benci menjadi cinta kayak difilm-film itu. Ini benci duarius. Bahkan mendengar nama mereka atau sepenggal lagu mereka pun membuat aku jadi illfeel. Apa yang terjadi pada diriku? Apakah iblis telah menguasai hatiku? Apabila benar begitu, maka aku harus mengambil kembali hatiku yang telah tenggelam dalam kegelapan dosa. Aku akan berubah. Bukan menjadi Superman atau Spiderman atau Power Ranger. Tetapi menjadi diriku yang baru.

Inilah sifat burukku. Inilah duri yang telah menancap sangat dalam di dagingku. Namun akan ku cabut keluar hingga tak bersisa. Agar duri itu tidak lagi melukai aku, dan semua orang yang ada disampingku.

Sabtu, 05 Maret 2011

Just Fans

Bagaimana bisa seorang manusia biasa menjadi terkenal? Apa yang membuat mereka terkenal? Hartakah? Tampangkah? Atau karena kemampuannya?

Beribu pertanyaan menghampiri pikiranku. Semua pertanyaan tentang seorang superstar. Siapa, kenapa, apa, kapan, mengapa, dan bagaimana. 5W + 1H. Sungguh ketika aku melihat seorang superstar yang selalu dielu-elukan, diidam-idamkan, jadi sirik juga. Tapi bukannya aku pengen terkenal (aku ga mau terkenal). Hanya saja klo diiming-iming, hanya dengan menjual nama saja mereka bisa mendapatkan uang segepok.

Dulu aku pernah ngefans sama superstar. Pernah dan sering. Kadang sama artis cilik (aku bukan pedophilia, hanya saja waktu itu aku juga masih kecil), trus sama artis dangdut (dulu, sekarang sih ga suka), band rock, dan artis lainnya. Beberapa kali aku berpikir, "Kapan ya aku bisa kayak mereka?"

Ya, kapan. Klo aku nulis, "Mungkin ga ya aku bisa kayak mereka?" pasti kalian semua pada serempak berteriak, "MUNGKIIINNN!!!" (kayak lagunya Project Pop, kebetulan lagi dengar lagu itu).

Yang aku lihat di TV sekarang sih, semua orang yang punya kasus atau skandal pasti akan terkenal. Contohnya Gayus Tambunan. Namanya sekarang sudah dikenal seluruh umat bumi karena kasus korupsinya yang harm. Setiap ada update tentang gayus, selalu digerumbungi oleh media. Bahkan gaya rambutnya pun sudah dikenal dengan sebutan gaywig (katanya sih bisa nambah rasa percaya diri). Apakah aku harus seperti itu? Bayangin klo misalnya aku jadi menteri kesehatan, trus aku ditangkap polisi karena telah membuat para artis wanita kayak Dian Sastro, Agnes Monica, dan Gita Gutawa jadi gila karena melihat wajahku yang sangat kontroversional (gila, ga nyambung abis). Kan ga lucu banget.

Ada juga superstar yang terkenal karena kemolekan tubuhnya. Yang ini sih ga mungkin bisa aku tiru. Bisa-bisa aku malah digodain preman lampu merah, trus diperkosa, digorok, berdarah-darah. Crazy mind. Ga, aku ga mau hidupku berakhir dengan cara yang memalukan seperti itu. Aku ingin hidupku berakhir dipelukan Cintaku, setelah aku sukses dan melihat anak-anak dan cucu-cucuku menjadi orang yang sukses juga. Ya, akhir hidup yang sangat aku idam-idamkan (everybody must agree with me).

Namun ada jenis superstar yang terkenal karena kemampuannya. Kayak Albert Einstein, Paul Gilbert, Jerry Chan, atau klo dalam negeri, kayak Sule, Raditya Dika, Christian Gonzales, dkk. Nah, superstar yang jenis ini kayaknya patut ditiru. Karena mereka menjadi superstar bukan karena hal yang buruk, tapi kemampuan mereka. Entah itu main gitar, nendang bola, merajut kolor, and others. Aku membayangkan lagi, klo aku terkenal karena kelihaianku bermain gitar. Tampil di Gelora Bung Karno, diliput berbagai macam media, cewek-cewek menjerit ga jelas, cowok-cowok pun sirik ga jelas, dan aku akhirnya parnoan ga jelas (sungguh imajinasi yang ga jelas).

Tapi tetap saja, sekarang, aku hanyalah seorang mahasiswa biasa yang hidupnya juga biasa-biasa saja. Aku juga tidak mau menjadi terlalu terkenal. Takkan mudah bagi diriku mengikuti gaya hidup mereka yang serba padat, diatur, diikuti, dan disukai banyak orang. Walau terlihat menggiurkan, tapi pasti juga diikuti dengan tanggung jawab yang sangat besar. Cukup sajalah aku menjadi seperti ini. Biarkan Tuhan yang menentukan arah masa depanku, karena semua yang baik berasal dari Dia.

Inilah aku.